Semenjak ratu Belanda, Wilhelmina, naik tahta pada 17 September 1901, sebuah kebijakan dari pemerintah kolonial diterapkan sebagai jawaban kritik terhadap politik tanam paksa di Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Kebijakan itu ialah Politik etis atau politik balas budi yang fokus pada tanggung jawab moral bagi rakyat pribumi.
Ada tiga program yang disusun penganjur politik, Conrad Theodore van Deventer, tentang politik etis, salah satunya mengenai edukasi atau pendidikan. Awalnya pendidikan di Hindia Belanda memang hanya untuk bangsawan, yang diselenggarakan para raja dan wali dengan memanfaatkan lingkungan keraton dan pesantren. Namun, adanya kolonial dan adanya intervensi Belanda lewat politik etis kemudian dibangunlah sekolah-sekolah.
Adapun sekolah yang dibangun di antaranya seperti; Sekolah Rakyat, Meer Uitgebreid Lagere School Onderwijs (MULO, setara SMP), dan Algemeen Metddelbare School (AMS, setara SMA). Juga ada Technische Hoogere School (THS, sekolah tinggi teknik yang sekarang menjadi Institut Teknologi Bandung), School tot Opleiding Van Indische Artsen (STOVIA, sekolah kedokteran, cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) dan Rechts Hoogere School (RHS, sekolah tinggi hukum di Batavia).
Kelihatannya kebijakan politik etis terhadap pendidikan orang-orang pribumi – khususnya golongan ningrat – terlihat baik-baik saja, tetapi tetap saja ada maksud tersembunyi dari hal itu. Pasalnya pendirian sekolah-sekolah tersebut bertolak dari kebutuhan pemerintah Hindia Belanda dalam mencetak tenaga kerja murah, dari pegawai sipil, medis, hingga militer. “Jika ingin menguasai suatu bangsa, maka kuasailah pendidikannya,” begitulah kata sastrawan legendaris, Pramoedya Ananta Toer, dalam Jejak Langkah yang bisa disandingkan dengan kondisi kala itu.
Seolah tidak mau disetir oleh pemerintah kolonial, Engku Mohammad Syafei (ejaan lama: Sjafei) yang saat itu memerhatikan sistem pendidikan yang tidak berpihak pada pribumi bergerak untuk melawan. Jauh dari tanah kelahirannya, ia mendirikan sekolah baru bernama Indonesisch–Nederlandsche School (INS) di Kayutanam, Sumatra Barat. Sekolah yang didirikan Syafei mempunyai corak pendidikan yang berbeda dari sekolah pemerintah kolonial Belanda. Dengan sekolah INS, Syafei sukses mewujudkan pendidikan yang lebih berkarakter yang tidak didapatkan di sekolah-sekolah Belanda.
Meratau ke Belanda, Menolak Bekerja di Sekolah Pemerintah Kolonial
Syafei pernah merantau ke Belanda atas usaha sendiri untuk belajar di sana. Saat itu ia berangkat menimba ilmu di negeri kincir angin pada usia 29 tahun pada 31 Mei 1922.
Dari negeri Belanda, Syafei memperoleh empat ijazah, yaitu ijazah guru Eropa, menggambar, pekerjaan tangan, dan musik. Di samping itu ia ikut aktif dalam organisasi pelajar yang didirikan oleh Mohammad Hatta yaitu “Indonesische Vereeniging” dan menjadi redaktur rubrik pendidikan pada organisasi itu.
Setelah sering berdiskusi, Hatta dan Syafei sepakat soal pentingnya pendidikan bagi kemerdekaan. Tak heran jika Syafei menolak tawaran mengajar di sekolah pemerintah dan memilih membangun sekolah sendiri. Ia bertekad mendirikan sebuah sekolah yang dapat mengembangkan bakat-bakat murid-muridnya dan disesuaikan dengan kebutuhan rakyat Indonesia.
Membangun Karakter Kebangsaan di INS Kayutanam
Sekembalinya dari Belanda pada 1925, Syafei lantas mendirikan INS di Kayutanam, Padang Pariaman, Sumatra Barat pada 31 Oktober 1926. Berdirinya INS Kayutanam merupakan simbol perlawanan terhadap penjajah. Sekolah ini merupakan jawaban terhadap corak pendidikan Belanda saat itu yang dinilai intelektualistik hanya mementingkan kecerdasan tetapi kurang memperhatikan bakat-bakat anak. Melalui INS, Syafei berharap para siswanya tidak menjadi cendekiawan setengah matang yang angkuh, tetapi menjadi pekerja cekatan yang rendah hati.
Dalam memimpin sekolahnya, Syafei menolak secara keras bantuan dari luar, terutama bila bantuan tersebut bersifat mengikat dan tidak memberinya kebebasan. Semua bangunan dan fasilitas sekolah adalah hasil buah karya dan kemandirian murid-muridnya sendiri.
Pada awal pendiriannya, INS Kayutanam hanya menyewa rumah penduduk di lahan seluas 18 ha dengan murid awal sebanyak 79 orang yang kemudian bertambah menjadi 110 orang. Tidak ada bangku untuk duduk, tetapi para murid mesti belajar di atas tikar. Keadaan seperti itu berlangsung selama 9 bulan. Setelah itu, secara bergotong royong, murid-murid mendirikan sebuah bangsal yang sederhana di tengah-tengah kebun kopi. Bangsal tersebut dijadikan 4 kelas di mana saat itu muridnya sudah bertambah menjadi 200 orang.
INS Kayutanam dikategorikan sebagai sekolah swasta kejuruan. Semboyannya yang sangat terkenal olehnya ialah: ”Apa yang saya dengar saya lupa, apa yang saya lihat saya ingat dan yang saya perbuat saya tahu.” Adapun tujuan sekolah yang diselenggarakan oleh Syafei adalah:
- Mendidik anak-anak agar mampu berpikir secara rasional
- Mendidik anak-anak agar mampu bekerja secara teratur dan bersungguh-sungguh
- Mendidik anak-anak agar menjadi manusia yang berwatak baik
- Menanamkan rasa persatuan
Tampak bahwa unsur kebangsaan amat kuat dalam pemikiran Syafei yang dituangkan di INS. Hal itu cukup beralasan karena tujuan ia mendirikan sekolah INS untuk menumbuhkan jiwa patriotisme rakyat dan tidak bergantung pada bangsa lain. Ia didorong semangat zaman yang menjiwai pemikiran pendidikannya, yaitu semangat nasionalisme anti-kolonial. Semua ini tercermin dari paradigma pendidikan yang dikembangkannya, yang kesemuanya diarahkan untuk memperkuat karakter bangsa.
Menurut Syafei, pada setiap manusia terdapat tiga hal pokok yang dapat dikembangkan untuk mendidik manusia lainnya ke arah yang dikehendaki, yaitu; melihat (45%), mendengar (25%), dan bergerak (35%). Dari pengembangan dalam sistem pembelajaran itu ia berusaha membentuk murid-muridnya menjadi pribadi yang ulet dan pantang menyerah.
Jurnalis kenamaan, Mochtar Lubis, adalah salah satu alumnus yang menikmati hasil manis dari pembelajaran di INS. Ia menjelaskan banyak hal berbeda yang diberikan pendidik di INS bila dibandingkan dengan apa yang diberikan di sekolah Belanda. ”Di sana kami diajari sejarah yang lain dari sejarah di sekolah-sekolah Belanda. Sejarah dilihat dari perspektif perjuangan orang Indonesia,” terang Lubis dalam bukunya yang berjudul Mochtar Lubis Bicara Lurus: Menjawab Pertanyaan Wartawan.
Ada tiga filosofi dan falsafah pendidikan yang dikedepankan Syafei bagi murid di INS Kayutanam. Pertama, wajib belajar dari alam sebagai ciptaan Tuhan yang harus diselidiki dan diperhatikan. Baginya, “alam terkembang menjadi guru”. Kedua, falsafah pendidikan, “jangan minta buah mangga kepada pohon rambutan, tapi jadikan setiap pohon buahnya manis”. Ketiga, jadilah engkau jadi engkau. Artinya, sekolah INS mengasah kecerdasan akal budi murid untuk menjadi dirinya sendiri, bukan membentuk dirinya menjadi manusia lain.
Mochtar Lubis pun merasakan itu selama belajar di INS. Ia mengaku menjadi lebih teratur bangun pagi, mampu menghitung langkah ke depan karena dicekoki permainan catur, dan mesra dengan alam sekeliling karena seringnya diajari praktik lapangan. ”Menjadi mandiri, itu falsafah sekolah saya,” tulisnya.
Ketika Jepang datang ke Indonesia, perubahan turut dirasakan INS. Segala nama berbau Belanda dihapus atau diganti. Maka dari itu pada masa Jepang singkatan INS berubah menjadi “Indonesia Nippon Sekolah”. Nama itu kemudian berganti lagi, tetapi masih dengan akronim yang sama. “Indonesia Nippon Sekolah” berubah menjadi “Indonesia Nationale School”.
Jadi Menteri Pendidikan RI Ketiga
Selepas proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Syafei masuk politik. Pada 1946 ia diangkat menjadi menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP dan K) dalam Kabinet Syahrir yang kedua menggantikan Todung Sutan Gunung Mulia. Namun karena dibutuhkan di Sumatra Barat, ia tidak bisa aktif sehingga pada 2 Oktober 1946 mengundurkan diri dari jabatannya.
Syafei kemudian diangkat menjadi Kepala Jawatan P dan K Sumatra oleh Gubemur Sumatera dan tahun 1947 diangkat sebagi anggota DPA. Kemudian ia menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, dan pada 1950 menjadi anggota parlemen. Ia pernah mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dari IKIP Padang pada tahun 1968. Syafei sendiri wafat pada 5 Maret 1969.
Belajar dari Syafei lewat INS-nya, ada baiknya dunia pendidikan tidak bergantung pada otak dan otot saja. Memiliki wawasan yang luas memang bagus, tetapi jangan sampai wawasan yang luas itu membuat kita kehilangan hati dan rasa kemanusiaan diri kita sendiri.
Referensi :
De Indische Courant | Dirjen Kebudayaan, “Tokoh Pemikir Karakter Bangsa” | Anri, “Naskah Sumber Arsip Pendidikan” | Mochtar Lubis, “Mochtar Lubis Bicara Lurus: Menjawab Pertanyaan Wartawan” | Ali Akbar Navis, “Filsafat Dan Strategi Pendidikan M. Sjafei: Ruang Pendidik INS Kayutanam”